. Permohonan Maaf
..:: TERIMAKASIH TELAH BERKUNJUNG, JANGAN LUPA KOMENTARNYA YA...ATAU TINGGALKAN JEJAK DI BUKU TAMU ::..

05 Januari, 2010

Permohonan Maaf


Agak sedikit kaget karena tiba-tiba pada tanggal 25-12-2009 yang lalu saya mendapatkan sebuah email yang berisi tentang komplain atau lebih bisa disebut sebuah usul yang sangat baik dan sangat sopan dari saudara Imron Supriadi penulis di blog www.sastramusi.blogspot.com atau www.sastrawongkito.blogspot.com., mengenai posting di blog ini yang berjudul ‘ Ketika Iblis Membentangkan Sajadah ’ yang ternyata adalah sebuah cerpen beliau yang ditulis di blognya.

Saya jadi sangat malu terhadap beliau yang dengan sangat bijaksana mengingatkan saya akan kesalahan saya ini karena mencantumkan sumber tulisan tersebut adalah http://www.bengkelrohani.com bukan
www.sastramusi.blogspot.com atau www.sastrawongkito.blogspot.com. Ditambah beliau juga menyarankan kepada saya untuk memposting artikel itu secara utuh.

Maklum saya mendapatkan artikel tersebut dari komunitas Kas*** dan menyebutkan bahwa http://www.bengkelrohani.com adalah sumber tulisan itu, jadi saya tidak cek langsung ke web http://www.bengkelrohani.com mengenai kebenaran tersebut. Sebuah kesalahan besar yang saya lakukan terhadap hak intelektual seseorang yang dengan susah payah menulis cerpen itu.

Oleh karena itu dengan tulisan ini saya yang pemilik blog ini meminta maaf sebesar-besarnya kepada saudara Imron Supriadi serta kepada semua sobat blogger atas kesalahan yang saya perbuat ini dan tak lupa juga kepada pemilik web http://www.bengkelrohani.com karena telah mencantumkan nama web terebut.

Berikut email dari saudara Imron Supriyadi yang saya terima :


Salam,
Bung Ekie Norman Fauzi, saya Imron Supriyadi penulis Cerpen "KETIKA
IBLISMEMBENTANGKAN SAJADAH" Saya mengucapkan terima kasih atas
dimuatnya tulisan saya di blog anda :
http://www.blogcatalog.com/search.frame.php?term=sajadah&id=bc2435e43fb93bd26b9e5bc3ec02eb02.
Tetapi, saya harap anda memuatnya bisa secara utuh dan juga
mencantumkan penulisnya sehingga tidak membiaskan hak intelektual. Ini
hanya saran dan usul saja, supaya beberapa tulisan lain yang dimuat di
blog anda tidak mendapat komplain dari penulis yg lain.
Demikian, terima kasih. Jika anda memerlukan tulisan saya yang lain
bisa dibuka di : www.sastramusi.blogspot.com atau
www.sastrawongkito.blogspot.com.
Trims

salam
Imron Supriyadi
Palembang
HP. 085669397762


Cerpen Imron Supriyadi

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan
hari itu Jum’at. Saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam
Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis
menjelma menjadi ratusan bentuk. Ia masuk dari segala penjuru. Masuk
lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lobang pembuangan
air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga. Masuk ke dalam
syaraf mata. Masuk ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut
jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap
sajadah.
“Hai, Blis!”, Panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu.
Iblis merasa terusik.
“Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang
saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”,
Jawab Iblis Ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci. Kalau kau mau ganggu, kau
bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”.
Kiai tercenung.
“Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”.
“Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”.
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah.
Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka
akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi
keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang
baru, Blis”.
“Bukan itu saja Kiai”.
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan
menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang
lebar-lebar”.
“Untuk apa?”
“Supaya, Saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap
kaum yang Kau pimpin, Kiai!”
“Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat.
Dengan sajadah yang lebar, maka barisan shaf akan renggang. Dan saya
ada dalam ke-renganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan
sajadah.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus.
Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya
berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara,
satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar,
seenaknya saja membentangkan sajadahnya. Tanpa melihat kanan-kirinya.
Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika
harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang.
Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil, membentangkan saja
sajadahnya. Sehingga, sebagian sajadah yang lebar, tertutupi
sepertiganya. Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah
yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat
sunah. Kiai akan membuktikan apa yang dikatakan Iblis.
Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun
dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan
sajadahnya, diatas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil,
kembali berada di bawahnya.


Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil,
melakukan hal serupa. Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya
ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat.
Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa
kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi diatas,
ketimbang menerima dibawah. Diatas sajadah, orang sudah berebut
kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia
akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah
sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas. Pemilik sajadah lebar,
diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat, harus
lebih diatas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah
kelas bawah, yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari
orang yang berkuasa. Diatas sajadah, Iblis telah mengajari orang
selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal ‘adziiiim”, Ujar Kiai pelan.
**
Ba’da Subuh. Orang-orang sudah beranjak dari Masjid. Mereka menuju ke
rumahnya masing-masing. Dan beberapa menit, atau beberapa jam
kemudian, masing-masing orang sudah disibukkan oleh pekerjaan
keseharian. Apalagi kalau bukan untuk mempertahankan hidup. Masjid
menjadi lengang dari jamaah. Sementara, Iblis tetap duduk bersimpuh di
depan mihrab. Ia begitu khusyuk. Seolah, Iblis sedang bertaqorrub
kepada Tuhan. Dalam keheningan, isak tangis Iblis terdengar samar.
Sesekali, Iblis menyeka air matanya yang ber-urai.
Tak lama kemudian, Kiai datang. Iblis tak menghiraukan kedatangan
Kiai. Sesaat, ia memperhatikan Iblis itu. Tetapi kemudian, Kiai
mengalihkan pandangannya ke hadapan sajadah, dan melakukan sholat
sunnah.
Usai sholat, Kiai kembali memperhatikan gerak-gerik Iblis, yang masih
tetap khusyuk. Dan tidak berapa lama, Iblis mengusap mukanya dengan
kedua telapak tangannya. Ia baru selesai melakukan ritual ke-agamaan.
Matanya masih sembab. Karena sejak pagi tadi, Iblis itu menangis.
“Blis, Aku ini heran”, Kata Kiai setelah duduk di sebelah Iblis.
“Kenapa, Kiai?”
“Kau ini aneh. Kau kan mahluk yang diusir dari Sorga oleh Tuhan.
Tetapi, hari ini, Kau menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuhan”.
Mata Iblis berbinar. Ia merasa berhasil menarik perhatian Kiai.
“Saya hanya berusaha, Kiai. Siapa tahu, dengan tangisan ini, saya dan
kawan-kawan bisa mendapat pengampunan”.
“Tetapi, bagaimana bisa Kau menangis, sementara, selama ini Kau sudah
menanam kebencian terhadap Tuhan?”
“Ah, Kiai bisa saja. Tangisan ini kan konsekuensi dari pangakuan dosa saya”.
Kiai tercenung sesaat.
“Tapi, Blis. Selama ini, saya tidak pernah bisa menangis dalam beribadah?”
“Ya, mungkin, anda belum khsusyuk”.
Kiai tersentak.
Selama ini, orang desa selalu meng-elu-elukan beribadahnya Kiai.
Tetapi, hari itu, Kiai dikatakan oleh Iblis, Kiai tidak khusyuk
beribadah. Ini pukulan berat bagi Kiai. Tetapi, sekalipun dadanya
sesak, Kiai tetap mencoba bijak.
“Kalau boleh tahu, kenapa kau bisa menangis?”, Kata Kiai mengatur emosi.
“Ya, karena saya pernah melakukan dosa”, Jawab Iblis enteng.
“Dosa yang bagaimana?”
“Dosa apa saja. Bisa membunuh, minum-minuman keras, atau juga berzina”.
Kiai kembali tersentak.
Sebab, seumur hidup-nya, Kiai ini belum pernah melakukan dosa yang
disebut Iblis.
“Apakah, kalau saya belum pernah melakukan dosa yang kau sebut tadi,
kemudian, saya tidak bisa menangis setiap sehabis sholat?”
“Wah, ya jelas. Kalau sudah melakukan dosa, kan ada penyesalan. Nah,
baru kemudian, Kiai bisa menangis pada saat beribadah atau setiap
sehabis sholat”, Kata Iblis mulai membuat jebakan.
“Tapi, saya tidak berani berzina. Itu larangan Tuhan. Itu dosa besar?”
“Membunuh!”, Iblis memberi alternatif.
“Wah, apalagi membunuh! Saya ini penakut!”
“Ya, kalau begitu, minum-minuman keras saja. Ini yang paling ringan”.
Kiai tercenung lagi.
“Bagaimana? kalau Kiai setuju, nanti malam, saya akan jemput Kiai.
Saya akan tunjukkan bagaimana, Kiai harus mulai melakukan dosa, agar
nanti, kalau Kiai sholat, Kiai bisa menangis seperti saya”.
**
Waktu Isyak berlalu. Iblis dan Kiai keluar dari Masjid. Orang-orang
sekitar hanya menatap heran, ketika ada warga baru yang sudah demikian
akrab dengan Kiai mereka. Tapi, tak seorang pun yang berani melarang.
Mereka tidak bisa berbuat banyak. Sementara, Iblis sudah membawa Kiai
menembus malam.
Pada sebuah Kedai, agak jauh dari perdusunan, tempat Kiai tinggal.
Banyak Laki-laki dan perempuan berkumpul di situ. Kata-kata kotor, dan
suara manja perempuan kampung yang siap melayani para lelaki, makin
jelas terdengar. Bermacam botol minuman keras tersedia di Kedai itu.
“Bagaimana Kiai?”
“Aduh, gila Kau, Blis!”
“Mau minum apa?”, Tanya Iblis ketika keduanya sudah duduk.
“E…e….”
“Tidak perlu gugup Kiai. Nanti juga terbiasa!”
Dua buah botol dipesan. Iblis menatap Kiai. Kiai tampak ragu.
Sementara, Iblis sudah menuangkan minuman ke dalam gelas, yang ada di
hadapan Kiai.
“Ayolah, Kiai. Setelah minum ini, saya yakin, Kiai bisa lebih khusyuk,
dan bisa menangis, ketika nanti Kiai sholat”.
Sedikit demi sedikit, Kiai terkena rayuan Iblis. Tak berapa lama, Kiai
sudah mabuk berat. Iblis beri kode pada salah satu perempuan. Salah
satu perempuan, kemudian membawa Kiai ke satu rumah, tepat di
belakang Kedai.
Langit gelap. Mata Kiai juga menjadi gelap. Sementara, desah napas
Kiai dan perempuan itu menjadi satu gerakan erotis yang menegangkan.
Keringat bercucuran. Detak jantung keduanya berdegup kencang. Petikan
ayat, hadits dan mutiara hikmah, tak lagi mampu membentengi hasrat
Kiai. Yang ada hanya napas yang memburu.
Sepertiga malam terakhir, Kiai terbangun. Di sebelahnya, ada
perempuan tergolek tanpa busana. Kiai terkejut. Ia jadi blingsatan. Ia
coba ucapkan kata Istighfar, tetapi, lidahnya kelu. Beberapa kali,
Kiai mencoba sebut nama Tuhan. Tapi ia gagal. Ada ketakutan yang
tiba-tiba menyusup. Kiai tak sempat lagi, mengingat rentetan kejadian,
yang telah membawanya ke tempat itu.
Matanya menjadi gelap. Hatinya juga tersumbat. Sebuah pisau pemotong
buah di atas meja ia hunjamkan ke perut perempuan itu. Seketika,
jeritan dan lengkingan kesakitan perempuan itu membangunkan warga
sekitar. Warga sudah berbondong-bondong. Menggedor dan berkerumun
mengitari tempat Kiai dan perempuan itu tidur.
Pagi tiba. Kiai sudah berada di tiang gantungan. Sementara, dari
kejauhan, Iblis tertawa lebar.
“Kurang ajar kau Iblis. Kau telah menipuku!” Teriak Kiai protes.
“Kiai, tak ada gunanya kau memprotes. Kau sudah masuk dalam
jeratanku. Kau harus menjalani hukuman berat”.
“Coba Kau selamatkan aku dari tiang gantungan ini, Blis!”
Iblis tertawa. Kali ini lebih lebar.
“Kalau Kiai ingin selamat dari tiang gantungan itu, bersaksilah atas
namaku. Lalu tundukkan muka pada ku. Itu sebagai pengakuan Kiai, bahwa
Kiai telah mau dan rela menjadi hambaku!”
“Aku adalah hamba Tuhan! Aku bukan hambamu!”
“Tapi pada posisi seperti sekarang, yang dibutuhkan Kiai bukan Tuhan,
tetapi aku, yang telah membawa Kiai ke tiang gantungan. Maka segeralah
tundukkan muka dan bersaksilah atas namaku!”
Kiai terdiam. Kepalanya tertunduk.
Tetapi, iblis tetap Iblis. Ia tak pernah menyelamatkan Kiai dari
tiang gantungan. Iblis lenyap. Kembali pada alam-nya. Ia berlari
membawa kemenangan. Dan besok atau lusa, Iblis akan kembali
membentangkan sajadah**

lpm ukhuwah-iain rf-Palembang,
30 November 2001



1 komentar:

admin on 14 Januari 2014 pukul 23.47 mengatakan...

Salam,
Untuk bisa memposting cerpen-cerpen saya dapat diambil dari website saya : www.imronsupriyadi.com Mhn semua ppostimg bisa mencantumkan sumber dan penulis asllinya sebagai bagian upaya dalam menghargai hak intelektual.; Tks atas responnya. Salam

Imron Supriyadi - Palembang
082178000294

Posting Komentar

Mohon Komentar Dari anda untuk mempererat persaudaraan kita...
saran, kritik dan spam akan saya anggap sebagai salah satu cara mempererat silaturahmi kita
Terimakasih

 

My Best Friend

Recent Comment